Potret Suksesnya Pemerintahan Djoko Nugroho
Pencalonan kembali Djoko Nugroho sebagai Bupati
Blora sontak membuat warga Kabupaten Blora tersentak, harapan akan perbaikan
Sistem Pemerintahan di Blora terancam. Seakan melupakan serangkaian kegagalan
dalam memimpin Blora, pecinta Trail ini berambisi untuk menguasai Kabupaten
Blora untuk periode 2016 – 2021.
Di sisi lain, kenangan pahit beragam kasus yang
tidak terselesaikan menghantui warga Kabupaten Blora. Sebut saja kasus korupsi
di Dinas Pendidikan Kabupaten Blora. Di bawah kepemimpinan Wardoyo sebagai
Kepala Dinas Pendidikan, terjadi korupsi di dinasnya yang nilainya ditaksir
senilai 19 milyar rupiah.
Membela anak buahnya, Djoko Nugroho mempertahankan
Wardoyo sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blora. Membela koruptor
adalah koruptor juga, demikian logika yang dapa kita gunakan untuk memahami
fenomena ini. Mengingat penetapan status tersangka Wardoyo sudah sejak 20 Mei
2013.
Perbuatan korupsi, dalam sudut pandang apapun
adalah perbuatan nista dan peyengsaraan rakyat secara terang-terangan. Sebuah
kejahatan yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat secara luas. Dinas pendidikan
idealnya memastikan pelaksanaan kegiatan pendidikan di Kabupaten Blora berjalan
dengan lancar demi melahirkan penerus bangsa yang berkualitas.
Sayangnya, pada masa kepemimpinan Djoko Nugroho
korupsi sensasional Rp 19 Milyar terjadi di tempat terhormat ini. Bukan tidak
mungkin, jika berhasil menguasai Blora untuk periode selanjutnya, angka korupsi
di kantor ini akan berlipat ganda.
Seolah menutup mata terhadap berbagai ketimpangan
kegiatan pendidikan di Blora. Djoko Nugroho tetap menugaskan Wardoyo sebagai
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blora. Di desa-desa di pelosok Kabupaten
Blora, banyak para siswanya kesulitan mendapatkan buku pelajaran.
Maklum saja, kasus korupsi yang melibatkan Wardoyo
adalah korupsi pengadaan buku ajar tahun 2010, 2011 dan 2012. Banyak pihak
menduga, Wardoyo hanyalah korban dari kekuasaan di atasnya. Menjadi rahasia
umum bahwa setiap Kepala Dinas diharuskan memberikan upeti demi kelangsungan
jabatannya.
Menjelang akhir jabatannya, Djoko Nugroho
mencitrakan diri sebagai pribadi yang dekat dengan Pesantren. Pencitraan ini
besar kaitannya dengan partai pengusungnya yang memiliki basis pendukung dari
Pesantren. Namun, Pesantren tetap memiliki standarisasi terhadap Calon Pemimpin
Daerah. Sebagai Lembaga Pendidikan
Karakter, Pesantren tidak akan tertipu dengan berbagai pencitraan yang
dilakukan.
Warga Kabupaten Blora memiliki caranya sendiri
untuk menghukum pemimpin yang mengkhianati amanah rakyat. Tidak memilih kembali
adalah salah satu caranya, selain dengan tetap mendesak kepada para Penegak
Hukum untuk menyelesaikan kasus korupsi di Dinas Pendidikan, karena hanya
koruptor yang akan melindungi koruptor. ( Heri ireng – Cepu – Blora | disalin seperti aslinya dari selebaran gelap
Buletin al fikr Volume 54, 10 Nopember 2015 )