“Hampa, terasa jiwaku. Di
malam yang sunyi. Menantikan datangnya matahari pagi. Resah menanti saat
hilangnya kemelut yang menerpa diriku di sepanjang waktu. Gelisah hati ini
sewaktu kusadari. Apakah hidup ini dalam menanti semua hanya sementara.”
“Kutatap diriku di dalam
cerminku. Sejenak ku terkejut menyadari langkahku. Pedih sanubariku merenung
sesaat menghadapi kenyataan yang tak dapat kulukiskan. Gelisah hati ini sewaktu
kusadari. Apakah hidup ini dalam menanti semua hanya sementara.”
Seperti itulah lirik lagu
yang dibawakan Hj Sitoresmi Prabuningrat. Berjudul “Penantian”. Hj Sitoresmi
membawakan dengan baik. Bagi generasi 90-an lagu ini jadi master piece Hj
Sitoresmi. Ingat Hj Sitoresmi Prabuningrat ya ingat perempuan berjilbab berkaca
mata bening, penyanyi lagu “Penantian”. Anggota Gang Pegangsaan. Gang
Pegangsaan sendiri adalah kumpulan musisi-musisi handal di Indonesia.
Syair-syairnya sangat Islami. Kualitas musiknya tak diragukan.
Siapapun orangnya. Selama
merasa sebagai orang biasa, pasti pernah mengalami kehampaan jiwa. Resah
menanti saat hilangnya kemelut di hati. Kemudian mempertanyakan, apakah semua
ini hanya sementara? Kapan akan berakhirnya?
Ketika mencoba
mengintrospeksi diri, kadang terkejut menyadari keadaan diri. Sejauh itu.
Sembrono. Sembarangan. Sampai pedih rasanya sanubari, ketika merenung sesaat
mengkomparasikan dengan kenyataan. Apalagi bila sampai merasa tak mampu
menggambarkan dengan kata-kata terhadap apa yang telah terjadi. Kemudian akan
mempertanyakan lagi, apakah semua ini hanya
sementara? Kapan berakhirnya?
Sebenarnya, jawabannya
sederhana saja. Tidak akan pernah berakhir. Selama di dunia. Tidak ingatkah? Rata-rata
manusia menangis saat pertama kali berada di dunia. Setiap bayi lahir pasti
menangis. Andaikan gak nangis ya dicubit biar menangis. Parah lagi tuh. Sebelum
menangis harus ngerasain sakit dulu. Baru nangis.
Maka, ikhlaskan saja.
Selama masih di dunia, manusia harus menangis. Manusia harus sakit. Bila ada
yang tertawa, itu karena lupa. Dan sudah pasti hanya bersifat sementara.
Lagian, yang namanya suka, gembira, sudah pasti akan disusul dengan kesedihan,
duka, kehampaan ataupun kerepotan. Karena ini masih di dunia.
Itulah kata yang harus
dipegang. Kita masih di dunia. Belum di surga. Lho masih percaya ama surga
neraka. Ya percaya dong siiih... gak percaya gimana aah... kebalik ya? Harusnya “Ya percaya dong aah..
gak percaya gimana siiih..?” Ya gak pa-pa. Wong gitu aja. 11-12.
Penjelasan sederhananya,
betapa tidak adilnya Tuhan bila surga atau neraka itu gak ada. Terus kapan Anda
bisa bahagia, kalau surga itu gak ada? Kapan orang-orang yang pernah saya
sakiti secara sengaja atau gak, bisa melihat saya sengsara kalau neraka itu gak
ada? Sedangkan saya selama di dunia merasa gak pernah sengsara. Selalu menang
dan bahagia, meski keliatannya selalu kalah. “Menang tanpa ngasor’ake”. Sedih
pernah, tapi hanya sebentar saja.
Jadi sebelum kita bisa
menerima kenyataan dengan ikhlas. Sebelum mampu menganggap bahwa dunia ini
penuh dengan kerepotan. Sebelum sadar bila dunia ini selalu membuat kita
menangis. Sebelum alam bawah sadar kita bisa mengakui bahwa hidup ini penuh
dengan kekecewaan. Ya selama itu pula hidup akan dipenuhi dengan kemelut.
Walaah kalau hidup di
dunia penuh dengan kekecewaan, ya lebih baik segera mati saja. Ya ndak gitu to
brother... sister... Emangnya udah ngerasa cukup bekalnya? Mau ke Sidney kok
gak bawa bekal cukup, bawa uang saku seadanya. Meski udah punya pasport. Tapi
apa gak malah menyulitkan diri sendiri. Lebih sengsara lagi. Nefsong itu
namanya. Tambah rempong laah..
Nafsu pengin segera mati.
Hanya gara-gara ngerasa hidup penuh dengan luka. Penuh dengan rasa kecewa
ketika sebuah penantian terjawab dengan kenyataan yang menunjukkan akan
berlangsung selamanya. Ketika menyadari bahwa ternyata kemelut tak akan ada
akhirnya selama masih ada di dunia. Itu namanya pingin nyaman sendiri.
Baiknya, kita nikmati
saja hidup di dunia yg disesaki dengan kepedihan ini. Manfaatkan saja kepedihan
ini untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan kita. Gak usah mengharap apa-apa.
Karena tak akan terjadi apa-apa selama di dunia. Andaikan ada harapan dan itu
terwujud, percayalah, itu juga akan berakhir dengan kesedihan.
Tapinya lagi, andaikan
ada harapan yg terwujud, kita harus sangat mensyukurinya. Karena itu merupakan
anugerah Tuhan yg luar biasa. Berlawanan dengan kebiasaan di dunia. Betapa
tidak. Kebiasaan di dunia adalah kecewa dan terluka. Tapi ketika sebuah harapan
bisa terwujud, bukankah itu merupakan sebuah peristiwa di luar kebiasaan dunia.
Istimewa. Udah seharusnya sangat bersyukur karenanya.
Kesimpulannya, kemelut
hati dan kehidupan itu akan berlangsung silih berganti, selama hidup di dunia.
Gak usah mencoba menentangnya. Ikhlaskan saja. Sangat bersyukur ketika dibuat
bahagia. Ikhlas ketika dibuat sengsara. Sifat dunia adalah rusak, penuh
kepedihan dan kekecewaan. Maka tak ada gunanya menghabiskan waktu untuk sekedar
bertanya, apakah dalam menanti hilangnya kemelut, semua hanya sementara?.
Karena sudah jelas jawabnya. Tak akan hilang selama masih di dunia. [heri ireng
| cepu blora]