Hanya bilik bambu tempat
tinggal kita. Tanpa hiasan tanpa lukisan. Beratap jerami beralaskan tanah.
Namun semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita sendiri. Hanya
alang-alang pagar rumah kita. Tanpa anyelir tanpa melati. Hanya bunga bakung
tumbuh di halaman. Namun semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita.
Haruskah kita beranjak ke kota. Yang penuh dengan tanya. Lebih baik di sini.
Rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini.
Rumah kita.
Sebuah lagu milik
Godbless. Menceritakan betapa sederhananya kehidupan desa. Dramatis tapi natural
juga. Tinggal bagaimana kita berimaji, sehingga muncul sisi keindahan atau sisi
kesengsaraan. Imaji kita akan memunculkan gambaran sebuah gubug kecil rapi
dengan sentuhan Bunda Bidadari. Sehingga memberikan hawa sorga bagi
penghuninya, meskipun sangat sederhana. Atau sebuah rumah kecil tak terawat
full rawai-rawai sampah, pengab beraroma Iblis Betina. Layak ditinggalkan
karena bagai neraka.
Bila muncul lukisan
khayal sebuah gubug kecil rapi dan sederhana karena sentuhan Bunda Bidadari.
Maka, bersyukurlah. Anda termasuk orang bahagia. Atau minimal masih punya
harapan hidup di tengah krisis global ini. Anda tak akan merasa kesulitan
menghadapi hidup. Cuek saja. EGP. Gak ambil pusing pada gejolak ekonomi global.
Karena Anda akan bisa hidup pada suasana apapun. Sesulit apapun. Dan
bersyukurlah lagi bila Tuhan selama ini menempatkan Anda dalam posisi yang
serba sederhana.
Meskipun Anda sudah tidak
gagap lagi ketika dihadapkan dengan segala macam entertaint. Tidak kalap ketika
diundang makan prasmanan di cafetaria hotel bintang lima. Tetap sopan ketika
disuguhi wine atau vodka. Tetap bisa jaga gejolak diri meski didampingi nyanyi
sama PK level peragawati. Tidak tergoyahkan ketika melihat dekat tarian di atas
meja pukul 00.00 WIB. Dan tidak tertarik membungkus ketika lewat aquarium. Dan
hebatnya, anda tetap bisa cukup ketika sarapan singkong bakar dan kopi waktu
hari libur saat di rumah. Bersyukurlah.
Oke... mari kita teruskan
berkhayal. Kita punya gubug kecil tipe 45 yang rapi. Di pinggiran desa. Dekat
Sekolah Dasar. Dekat tempat ibadah. Dikelilingi kebun kecil. Bisa ditanami
singkong dan pepaya. Biar tidak terlalu panas, ditanami pohon talok, jambu dan mangga.
Ha ha ha kok melenceng dari lirik Rumah Kita punya Godbless? Ya jelas. Kan
rumah kecil di desa Godbless itu rumah kecil di desa era Orde Baru. Sekarang
kan udah jaman reformasi. Jadi wajar saja lah bila paradigma rumah kecil di
desa itu bergeser.
Kamar mandi dan WC
menyatu di dalam rumah. Agak jauh dari septitank ada sebuah sumur timba. Sudah
pasti ada mesin pompa airnya. Ada pula tempat njemur pakaian. Jauuh di belakang
rumah mengalir sebuah sungai kecil. Masih banyak ikan meski musim kemarau. Dan tidak
ada tangan jahil mengambil ikan dengan peptisida. Tiap habis sore masih bisa
mancing ikan buat lauk makan malam.
Di dalam rumah hanya ada
mebeler kayu sederhana. Berisi benda-benda secukupnya. Pakaian ya secukupnya,
buat kerja, buat sembahyang sekaligus buat kondangan, serta pakaian buat
sehari-hari dengan jumlah terbatas. Perabotan rumah tangga ya secukupnya. Asal
bisa buat masak nasi, bikin sayur, goreng tempe tahu – telur atau ikan kali.
Hanya ada karpet di ruang tamu. Hanya ada tiga almari. Almari makan, almari
pakaian, dan almari buku keagamaan. Hanya satu rak buat perabotan makan. Tanpa
buffet, tanpa kulkas.
Tidak ada kursi. Hanya
ada meja model Jepang atau Meja Ceki. Jaman Orba dulu, tiap ada orang punya
hajat gede, disediakan meja berkaki pendek. Dikelilingi empat orang
perempuan-perempuan tua. Bermain kartu China, punggung kartu berwarna hijau.
Masyarakat lokal menyebut dengan Kartu Kucing. Hingga muncullah istilah
“Mbanting Kucing”. Idiomnya sama dengan “Mbanting Londo”.
Di rumah imajiner kita,
meja itu jadi meja serba guna. Setelah makan, dibersihkan. Dibuat membaca kitab
suci. Dibuat menulis atau menghitung. Dibuat duduk-duduk sambil mendengarkan
radio atau mp3 sambil merokok dan “ngopi” sebelum tidur. Dibuat nerima tamu.
Dan kalau kebetulan udah ngantuk dan malas jalan ke kamar, langsung matiin
lampu ruang tamu, dan sekalian tidur meringkuk di atas meja. Sungguh
Merdeka...!!!.
Lhoo... katanya tadi ada
sentuhan Bunda Bidadari? Kok Bunda Bidadarinya gak diceritain? Ha ha ha....
Bunda Bidadarinya masih kuliah bro... di Universitas Kehidupan. Gak
wisuda-wisuda. Jadi ya hanya buat figur saja. Biar selalu bisa hidup rapi, ya
setiap saat ngingat Bunda Bidadari waktu melipat baju atau celana komprang yg
berserakan di atas ranjang. Juga saat menata barang. Sangat rapi sekali. Sambil
terus mempersiapkan mati dan berharap kelak bisa bersama seorang Bidadari yang
gembul, sederhana dan rapi.
Sudahlah. Jalani saja
kehidupan ini dengan sangat sederhana. Gak perlu rumah yang gede-gede, sulit
ngurusnya. Keep working hard but don’t playing hard. Karena bisa tergelincir lagi
ke lembah nista. Jangan andalkan sesama makhluk. Semua tergantung sama Tuhan.
Tidak ada yang lain.Tapi tidak usah buru-buru mendekat Tuhan dengan memilih
cara sendiri. Tuhan telah mengatur semuanya. Jalani saja, meskipun harus
berjalan sendiri. Hidup hanya sementara. Tidak usah meminta mati. Juga tidak
usah takut mati. Dan yakinlah... segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa...
semuanya ada di sini. Di hati. [ heri ireng – cepu blora ]