Rumah Kita

 


08 rumah kita heri ireng cepu blora
Hanya bilik bambu tempat tinggal kita. Tanpa hiasan tanpa lukisan. Beratap jerami beralaskan tanah. Namun semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita sendiri. Hanya alang-alang pagar rumah kita. Tanpa anyelir tanpa melati. Hanya bunga bakung tumbuh di halaman. Namun semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita. Haruskah kita beranjak ke kota. Yang penuh dengan tanya. Lebih baik di sini. Rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini. Rumah kita.
Sebuah lagu milik Godbless. Menceritakan betapa sederhananya kehidupan desa. Dramatis tapi natural juga. Tinggal bagaimana kita berimaji, sehingga muncul sisi keindahan atau sisi kesengsaraan. Imaji kita akan memunculkan gambaran sebuah gubug kecil rapi dengan sentuhan Bunda Bidadari. Sehingga memberikan hawa sorga bagi penghuninya, meskipun sangat sederhana. Atau sebuah rumah kecil tak terawat full rawai-rawai sampah, pengab beraroma Iblis Betina. Layak ditinggalkan karena bagai neraka.
Bila muncul lukisan khayal sebuah gubug kecil rapi dan sederhana karena sentuhan Bunda Bidadari. Maka, bersyukurlah. Anda termasuk orang bahagia. Atau minimal masih punya harapan hidup di tengah krisis global ini. Anda tak akan merasa kesulitan menghadapi hidup. Cuek saja. EGP. Gak ambil pusing pada gejolak ekonomi global. Karena Anda akan bisa hidup pada suasana apapun. Sesulit apapun. Dan bersyukurlah lagi bila Tuhan selama ini menempatkan Anda dalam posisi yang serba sederhana.
Meskipun Anda sudah tidak gagap lagi ketika dihadapkan dengan segala macam entertaint. Tidak kalap ketika diundang makan prasmanan di cafetaria hotel bintang lima. Tetap sopan ketika disuguhi wine atau vodka. Tetap bisa jaga gejolak diri meski didampingi nyanyi sama PK level peragawati. Tidak tergoyahkan ketika melihat dekat tarian di atas meja pukul 00.00 WIB. Dan tidak tertarik membungkus ketika lewat aquarium. Dan hebatnya, anda tetap bisa cukup ketika sarapan singkong bakar dan kopi waktu hari libur saat di rumah. Bersyukurlah.
Oke... mari kita teruskan berkhayal. Kita punya gubug kecil tipe 45 yang rapi. Di pinggiran desa. Dekat Sekolah Dasar. Dekat tempat ibadah. Dikelilingi kebun kecil. Bisa ditanami singkong dan pepaya. Biar tidak terlalu panas, ditanami pohon talok, jambu dan mangga. Ha ha ha kok melenceng dari lirik Rumah Kita punya Godbless? Ya jelas. Kan rumah kecil di desa Godbless itu rumah kecil di desa era Orde Baru. Sekarang kan udah jaman reformasi. Jadi wajar saja lah bila paradigma rumah kecil di desa itu bergeser.
Kamar mandi dan WC menyatu di dalam rumah. Agak jauh dari septitank ada sebuah sumur timba. Sudah pasti ada mesin pompa airnya. Ada pula tempat njemur pakaian. Jauuh di belakang rumah mengalir sebuah sungai kecil. Masih banyak ikan meski musim kemarau. Dan tidak ada tangan jahil mengambil ikan dengan peptisida. Tiap habis sore masih bisa mancing ikan buat lauk makan malam.
Di dalam rumah hanya ada mebeler kayu sederhana. Berisi benda-benda secukupnya. Pakaian ya secukupnya, buat kerja, buat sembahyang sekaligus buat kondangan, serta pakaian buat sehari-hari dengan jumlah terbatas. Perabotan rumah tangga ya secukupnya. Asal bisa buat masak nasi, bikin sayur, goreng tempe tahu – telur atau ikan kali. Hanya ada karpet di ruang tamu. Hanya ada tiga almari. Almari makan, almari pakaian, dan almari buku keagamaan. Hanya satu rak buat perabotan makan. Tanpa buffet, tanpa kulkas.
Tidak ada kursi. Hanya ada meja model Jepang atau Meja Ceki. Jaman Orba dulu, tiap ada orang punya hajat gede, disediakan meja berkaki pendek. Dikelilingi empat orang perempuan-perempuan tua. Bermain kartu China, punggung kartu berwarna hijau. Masyarakat lokal menyebut dengan Kartu Kucing. Hingga muncullah istilah “Mbanting Kucing”. Idiomnya sama dengan “Mbanting Londo”.
Di rumah imajiner kita, meja itu jadi meja serba guna. Setelah makan, dibersihkan. Dibuat membaca kitab suci. Dibuat menulis atau menghitung. Dibuat duduk-duduk sambil mendengarkan radio atau mp3 sambil merokok dan “ngopi” sebelum tidur. Dibuat nerima tamu. Dan kalau kebetulan udah ngantuk dan malas jalan ke kamar, langsung matiin lampu ruang tamu, dan sekalian tidur meringkuk di atas meja. Sungguh Merdeka...!!!.
Lhoo... katanya tadi ada sentuhan Bunda Bidadari? Kok Bunda Bidadarinya gak diceritain? Ha ha ha.... Bunda Bidadarinya masih kuliah bro... di Universitas Kehidupan. Gak wisuda-wisuda. Jadi ya hanya buat figur saja. Biar selalu bisa hidup rapi, ya setiap saat ngingat Bunda Bidadari waktu melipat baju atau celana komprang yg berserakan di atas ranjang. Juga saat menata barang. Sangat rapi sekali. Sambil terus mempersiapkan mati dan berharap kelak bisa bersama seorang Bidadari yang gembul, sederhana dan rapi.
Sudahlah. Jalani saja kehidupan ini dengan sangat sederhana. Gak perlu rumah yang gede-gede, sulit ngurusnya. Keep working hard but don’t playing hard. Karena bisa tergelincir lagi ke lembah nista. Jangan andalkan sesama makhluk. Semua tergantung sama Tuhan. Tidak ada yang lain.Tapi tidak usah buru-buru mendekat Tuhan dengan memilih cara sendiri. Tuhan telah mengatur semuanya. Jalani saja, meskipun harus berjalan sendiri. Hidup hanya sementara. Tidak usah meminta mati. Juga tidak usah takut mati. Dan yakinlah... segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa... semuanya ada di sini. Di hati. [ heri ireng – cepu blora ]
 
© 2012. DM-B- BT BS