Jangan Bergantung Pada Amal

 


09 Nurani - Jangan Bergantung Pada Amal heri ireng cepu blora
Tiada Tuhan Selain Allah, tidak akan terjadi apapun tanpa dikehendaki Allah. Dan tanda-tanda mengandalkan amal adalah putus asa ketika melakukan kesalahan.
Ada yang menggantungkan keberhasilan karena pekerjaan. “Bila saya bekerja keras, saya pasti sukses. Bila saya beramal sungguh-sungguh, maka pasti masuk surga.” Mengaitkan antara amal atau perbuatan atau pekerjaan dengan hasil. Sejenak melupakan Allah.
Sepertinya benar dan logis. Tapi bila dikorelasikan ama ketauhidan pada Allah, akan terjadi benturan. Sebenarnya amal hanyalah makhluk bukan Allah bukan Sang Khalik. Maka amal tidak akan bisa membuahkan apapun. Termasuk Do’a pun juga seperti itu. Pekerjaan juga tidak akan menghasilkan apapun. Apapun tanpa adanya izin dari Allah.
Pada ilmu logika, memang ada teori sebab akibat. Sebablah yang memunculkan Akibat. Tapi dalam konteks “Ketuhanan”, baik Sebab maupun Akibat, kedua-duanya diciptakan oleh Allah. Kadang Allah memunculkan akibat dengan merahasiakan sebuah sebab. Kadang Allah tidak memunculkan akibat sama sekali dengan cara memutus proses sebuah sebab.
Maka muncul hukum relativitas. Semua tidak pasti. Matematika pun sebenarnya juga tidak pasti. Hanya kesepakatan-kesepakatan sederhana. Yang pasti hanyalah Allah. Bila ingin menggantungkan sesuatu, hendaknya langsung pada Allah. Jangan kepada makhluk atau kepada selain Allah. Amal sendiri juga bukan Allah.
Bila hukum sebab akibat mutlak adanya, maka gak akan ada yang namanya kegagalan. Gak ada sukses yang tertunda. Gak ada istilah trial and error.
Paling mudah dipahami adalah pada saat kita mau travelling. Kadang kita sudah memutuskan untuk “Tidak jadi saja”. Tapi tiba-tiba ada seorang temen didatangkan sama Allah. Hanya ditakdirkan berkata, “Ayo berangkat sekarang.” Kita pun tetap berangkat. Ditakdirkan Allah selamat sampai tujuan. Ditakdirkan senang-senang. Dan ditakdirkan Allah kembali sampai rumah dengan keadaan pikiran fresh dan utuh.
Siapapun yang masih mengandalkan perbuatan entah baik maupun buruk, maka dia akan terperangkap dalam paradigma amalan itu. Tak pernah memberikan satu ruang kosong untuk sebuah kebenaran hakiki. Menjadi sombong di hadapan manusia maupun Allah. Seakan apa yang terjadi pada dirinya adalah muncul karena dirinya sendiri. Dan itu sering ditakdirkan Allah terjadi pada saya, sering ditakdirkan Allah untuk saya temui.
Namun amal sangat wajib terselenggara. Harus dikerjakan. Hasilnya, terserah pada Allah. Kabarnya kok seperti itu. Dan kita sebagai hamba ya gak usah nagih-nagih pada Allah. Nabi SAW saja bersabda bila beliau tidak bisa masuk surga karena amal beliau. Nabi SAW dijamin masuk surga hanya karena sifat Rahman & Rahiim Allah.
Amal harus terselenggara. Hanya, jangan menggantungkan sesuatu pada amal. Jaga agar jangan sekalipun terbersit pikiran transaksional. Relationship kita sama Allah bukanlah bersifat transaksional. Allah Maha Kuasa. Allah Maha Memaksa. Jadi semua tergantung sama Allah. Allah mau buat kita bagaimana juga terserah pada Allah.
Bila gak mau beramal, berbuat, bekerja, hahaha... itu “ngambek” namanya. Amal harus terselenggara. Usaha, doa, bekerja tetap harus terselenggara. Bila disadari, perbuatan amal, entah baik atau buruk, usaha, doa, bekerja itu juga diciptakan Allah sendiri pada diri kita. Atas kehendak Allah. Ternyata Allah adalah sebenar-benarnya Penguasa atas segala sesuatu.
Sebenarnya kita gak pingin jatuh ke lembah maksiat. Tapi, gimana lagi bila Allah sudah menghendaki begitu. Bisa apa lagi? Hanya percaya sajalah pada Allah. Pasti ada hikmah pada setiap peristiwa. Manut saja. Asal jangan disengaja tanpa kesadaran usaha untuk ke arah lebih baik. Karena jelek-jelek begini kita juga khalifah atas diri kita sendiri. Yang harus tahu benar salah.
Sebajingan apapun saya, misalnya. Saya masih diberi kesadaran kok ketika mau melakukan perbuatan nista. Hanya karena tidak mampu menghentikan laju hawa nafsu, maka terjadilah perbuatan nista itu. Melupakan sifat Allah yang Maha Sombong, Maha Memaksa. Melupakan bahwa siksa Allah teramat pedih. Siksa itu bisa “dicicil” di dunia, bisa “dirapel” di akhirat nanti. Padahal setiap amal akan dibalas oleh Allah, bagaimana bentuknya, terserah Allah. Umpama tidak pun ya terserah Allah. [ heri ireng – cepu blora ]
 
© 2012. DM-B- BT BS