Pernah sesekali kita
merasa sakiiit banget karena merasa kecewa terhadap seseorang. Sangat kecewa
masih pakai banget, masih pakai sekaliii. Sudah diperjuangi, diandalkan,
diyakini benar akan membawa kebaikan bagi kita. Namun kenyataannya malah sangat
mengecewakan. Kadang bukan hanya mengecewakan. Menyakiti hati kita lewat
ucapan, lewat tulisan, lewat sikap. Kadang sikap itu memang disengaja untuk
ditunjukkan pada kita, bahwa orang yang tadinya kita beri kepercayaan tersebut
sengaja ingin membuat kita lebih terluka.
“Udah berbohong. Kadang
mengatasnamakan Tuhannya. Licik. Berkhianat. Masih sengaja nyakitin”.
Mengakibatkan rasa sedih berkepanjangan. Mau ngambil tindakan tegas, kasihan.
Tidak diambil tindakan destruktif sebagai pembalasan kok sangat menyakitkan.
Akhirnya kita hanya bisa sabar, meratapi nasib. Kemudian keluar ungkapan,
“Mengapa....?”. “Tega”. “Kejam”. “Tak tahu perasaan.” “Tak punya belas
kasihan.” Dan beribu ungkapan senada lainnya.
Sementara orang yang
sudah melukiskan luka di kehidupan kita sampai berdarah-darah, masih saja
dibiarkan Tuhan untuk bahagia, kelihatannya. Cuek. Sangat menikmati hidup.
Makin berjaya. Lebih sering tertawa. Penuh dengan keindahan. Begitu berbanding
terbalik dengan kita yang sedang kecewa. Sedang tersakiti. Sedang teraniaya
karena perbuatannya. Sementara kita, semakin terpuruk. Semakin dirundung duka.
Semakin sulit meski hanya untuk sekedar berdiri untuk melangkahkan kaki.
Apalagi untuk bangkit lagi.
Memang begitu keadaannya.
Sebuah kondisi normal di dunia. Antagonis selalu menang. “Jujur hancur”.
Kelicikan berbuah kebahagiaan. Pahlawan dimenangkan hanya dalam cerita fiksi.
Sebuah keadaan ideal rekaan. Dalam keadaan sebenarnya, Pahlawan selalu gugur di
medan laga. Idealis selalu termarginalkan. Dikalahkan. Dimatikan perlahan,
melewati berjuta siksa raga maupun sukma. Andaikan ada penghargaan, ya hanya
sekedarnya. Temporer. Itupun seribu satu.
Dan tahukah Anda? Dunia
seisinya ini ada yang ngatur. Kita biasa menyebutnya dengan nama Tuhan. Maha
Pengasih. Maha Penyayang. Maha Adil. Maha Memaksa. Sedangkan segala sesuatu
yang telah terjadi, kita biasa menyebutnya dengan Ketetapan Tuhan. Kehendak
Yang Maha Kuasa. Takdir. Sudah digariskan. Sudah dari sono-Nya. Bila sudah tahu
begitu, mengapa masih kecewa? Masih tak mau menyadari bahwa itu kehendak Tuhan?.
Sekarang coba kita
korelasikan dengan kasus di atas. Saat kita merasa dikhianati. Tanpa sengaja,
ada seorang pembohong, pengkhianat, sangat licik dan kejam masuk pada
keterpurukan kehidupan kita. Datang seakan membawa kebaikan. Harapan baru.
Keindahan tak berujung. Ketenangan jiwa raga selama-lamanya. Diturunkan Tuhan
sebagai pembawa solusi. Penghapus segala duka. Pengentas dari segala
keterpurukan di dunia.
Sangat indah pada
awalnya. Hingga kita percaya. Mengikuti iramanya. Setia pada prosesnya. Patuh,
berharap. Tapi seperti biasa... berakhir duka, meninggalkan berjuta luka.
Menumbuhkan kebencian di hati. Membawa rembulan dan mentari hingga tinggal
kegelapan di hati. Membakar semua angan dan mimpi. Membakar jiwa dan raga
hingga seakan musnah tak tersisa. Terlalu menyakitkan. Sedang hati kita tak
tega membalasnya.
Membalasnya, hanya akan
menumbuhkan rasa bersalah yang tak mungkin terobati, sampai kapanpun.
Melahirkan kerusakan lebih parah. Tak terduga. Dan membuahkan kecaman dari
manusia, malaikat, dan mungkin Tuhan sendiri. Karena apa? Karena pembalasan itu
biasanya lebih kejam. Lekat dengan unsur kesengajaan tak terbantahkan.
Akhirnya, minimal, bisa-bisa kita dikatakan tidak ikhlas menerima kenyataan.
Akhirnya, hanya diam yang kita bisa.
Apakah kita akan
menyalahkan orang tersebut?. Sebenarnya tidak perlu bro...!!!. Kecewa ya sewajarnya
saja. Tapi, ketika kita menimpakan seluruh kesalahan pada orang lain tersebut,
itu yang gak wajar. Jangan sampai kita terpuruk lebih jauh lagi. Apalagi bila
sampai melupakan bahwa garis hidup telah ditetapkan Tuhan. Kita manusia, hanya
menjalani apapun takdir-Nya. Usaha dan doa? Usaha dan doa itu juga takdir.
Mengapa tidak mau
menyadari, bahwa semua ini ternyata memang sudah Kehendak Tuhan. Sedang
seseorang yang kita anggap merugikan dan memporak-porandakan tatanan hidup
kita, itu hanyalah alat Tuhan untuk menuliskan kisah yang lebih buruk pada perjalanan
panjang dan melelahkan ini. Penambah kekecewaan. Penambah kegagalan. Penambah
kisah petualangan kehidupan. Ada lagi yang menyebut dengan berperan pada proses
pendewasaan.
Nhaa.... bila sekarang
sudah tahu bahwa seseorang itu hanyalah alat Tuhan. Apakah kita masih akan
menyalahkan mereka?. Siapa yang salah, bila kita sampai mengatakan, “Tiada maaf
bagimu.” “Tidak bisa memaafkan, kecuali.... .” “Akan kukejar sampai akhirat.”
Dan sekian pernyataan serupa. Lha wong ternyata mereka itu hanya alat Tuhan
untuk memberikan hukuman atau ujian kepada kita. Mengapa disalahkan
banget-banget?.
Mbok ya sudah. Apakah
tidak lebih baik kita hampiri barisan pohon cemara. Berusaha belajar
mengucapkan, “Saya tidak apa-apa. Anda hanyalah makhluk yang dititahkan Tuhan
untuk memberikan luka pada hati saya. Sebuah luka yang seumur-umur belum pernah
saya alami sebelumnya.” Meskipun ketika kita ucapkan seperti itu, tidak akan
terjadi apa-apa. Ingat... jangan mengharap sesuatu dari makhluk. Walau hanya
sekedar kata, “Ya.” Karena Anda akan merasa lebih terluka. Andalkan Tuhan saja.
Meski Tuhan seperti lebih memihak pada mereka.
Jadi... bismillah saja..
Serahkan pada Tuhan. Tuhan selalu memberikan petunjuk. Apapun yang sekarang
Anda alami, itu Kehendak Tuhan. Jadi tidak ada yang salah. Tidak ada yang salah
bila kita berbuat sesuatu nantinya. Entah itu akan berakibat baik maupun lebih
buruk lagi, itu takdir Tuhan. Dan sekali lagi... Tidak Ada yang Salah. Tidak
Ada yang Perlu Dimaafkan.
Heri ireng Cepu Raya –
Blora Raya