Diiringi lagu “Cinta”
yang dinyanyikan Anang & Krisdayanti, saya menuliskan posting ini. Tulisan
ini sangat subyektif sekali. Begitu juga dengan isi blog ini. Sangat subyektif.
Demi kepentingan saya sendiri tentunya. Tidak akan mampu menuntun ke arah
kebenaran. Hanya mencoba menghibur Anda yang sedang mencari pembenaran. Atas
tindakan Anda. Saya tahu bahwa Anda sedang bingung. Atau sangat jenius. Maka
Anda sampai terjerumus membaca postingan ini.
Kebenaran adalah milik
orang banyak. Tak akan terlepas dari tata norma. Segala norma dan dogma. Karena
norma pada dasarnya “baik”. Begitu juga dengan dogma. Maka ketika telah
bersikap subyektif, membiarkan diri bertindak di luar tata norma, sudah pasti divonis
“nakal”, “jahat”, “tidak baik”. Akibatnya, pikiran ikut terpengaruh menjadi
“merasa bersalah”. Merasa tidak orang lagi. Merasa tidak pantas hidup. Merasa
pantas mendapat hukuman atas subyektifitas yang telah dilakukan.
Selanjutnya, jadi
tersiksa. Oleh perasaan bersalah. Oleh perasaan kecewa terhadap keadaan. Merasa
hina. Merasa jadi orang yang paling tidak benar. Membandingkan diri dengan
keadaan diri dengan kehidupan orang lain. Mempertanyakan, mengapa orang lain
“tidak ada masalah”, lurus-lurus saja. Kadang larut dalam penderitaan, kadang
membenarkan situasi. Menyalahkan takdir. Terlupa bahwa apa yang terjadi
sekarang adalah akumulasi dari pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan hidup
pada detik-detik sebelumnya.
Sedang Pembenaran adalah
milik personal. Sebuah aktifitas pengingkaran terhadap perasaan pantas mendapat
hukuman. Pengingkaran pada perasaan tidak pantas hidup lagi. Usaha memadamkan
rasa bersalah. Mentolelir diri dari sekian tindakan subyektif yang jelas salah
bila diketahui khalayak. Meski terasa layak dan sudah sepantasnya dilakukan
sampai kapanpun bila didasarkan pada subyektifitas semata.
Pengingkaran itu
melahirkan ungkapan-ungkapan subyektif pula. “Orang tahunya apa?”. “Biarkan
saja orang bicara.” Dan lain sebagainya. Menjadi apatis. Anti sosial. Hidup
sekedar hidup. Bagai mayat hidup. Tubuh ada pada satu lokasi dan situasi
tertentu, sedangkan jiwa entah berkelana ke mana. Sebenarnya jiwa itu sibuk
mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan subyek yang menghasilkan
tindakan subyektif yang telah dilakukan.
Seringkali pembenaran
atas tindakan subyektif atau tindakan diluar kelaziman memunculkan dramatisasi
sebagai kompensasi. Mengkondisikan alam pikiran untuk memaksakan diri berbuat
sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan. Meskipun itu benar menurut tata
norma. Tapi mengingkari hati. Sebuah tindakan karena dorongan keputusasaan.
Hasilnya, bertahan hanya sebentar. Memang hebat pada awalnya. Seakan diri mampu
konsisten melaksanakannya. Tapi, lama kelamaan memudar jua. Karena itu bukan
dari hati. Namun hanya sebuah dramatisasi.
Dramatisasi disini
dimaknai dengan mengkondisikan bahkan memaksakan jiwa untuk permisif, menerima
keadaan, kemudian melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan. Seperti
benar-benar diinginkan pada saat itu. Meskipun akibat dari “laku” atau “dharma”
tersebut dianggap baik, sesuai tata norma, disepakati sebagai sebuah kewajiban
yang harus dilakukan antar manusia. Tapi yang namanya, dramatisasi, ya tetap
saja dramatisasi. Pada awalnya memang seperti sempurna.
Keinginan sesaat. Itu
juga kompensasi. Tidak bertahan lama. Tidak konsisten. Tetap berakhir dengan
ungkapan “mengapa!”, tertunduk dalam diam, meratapi tindakan bodoh, dan
menyesali waktu terbuang. Maka, kehati-hatian sebelum mengambil keputusan
sangat diperlukan. Apalagi bila itu sudah dinilai tidak lazim oleh khalayak.
Karena bisa merugikan banyak pihak. Bagi pihak yang sebelumnya pernah melakukan
hal serupa, akan mudah memaafkan. Tapi bagi pihak yang belum pernah melakukan
sebelumnya. Itu sangat sulit untuk dimaafkan, meski hanya bisa diam, untuk
sementara. [Heri Ireng | Cepu Blora]