Kebenaran dan Pembenaran

 


03 kebenaran dan pembenaran heri ireng cepu blora
Diiringi lagu “Cinta” yang dinyanyikan Anang & Krisdayanti, saya menuliskan posting ini. Tulisan ini sangat subyektif sekali. Begitu juga dengan isi blog ini. Sangat subyektif. Demi kepentingan saya sendiri tentunya. Tidak akan mampu menuntun ke arah kebenaran. Hanya mencoba menghibur Anda yang sedang mencari pembenaran. Atas tindakan Anda. Saya tahu bahwa Anda sedang bingung. Atau sangat jenius. Maka Anda sampai terjerumus membaca postingan ini.
Kebenaran adalah milik orang banyak. Tak akan terlepas dari tata norma. Segala norma dan dogma. Karena norma pada dasarnya “baik”. Begitu juga dengan dogma. Maka ketika telah bersikap subyektif, membiarkan diri bertindak di luar tata norma, sudah pasti divonis “nakal”, “jahat”, “tidak baik”. Akibatnya, pikiran ikut terpengaruh menjadi “merasa bersalah”. Merasa tidak orang lagi. Merasa tidak pantas hidup. Merasa pantas mendapat hukuman atas subyektifitas yang telah dilakukan.
Selanjutnya, jadi tersiksa. Oleh perasaan bersalah. Oleh perasaan kecewa terhadap keadaan. Merasa hina. Merasa jadi orang yang paling tidak benar. Membandingkan diri dengan keadaan diri dengan kehidupan orang lain. Mempertanyakan, mengapa orang lain “tidak ada masalah”, lurus-lurus saja. Kadang larut dalam penderitaan, kadang membenarkan situasi. Menyalahkan takdir. Terlupa bahwa apa yang terjadi sekarang adalah akumulasi dari pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan hidup pada detik-detik sebelumnya.
Sedang Pembenaran adalah milik personal. Sebuah aktifitas pengingkaran terhadap perasaan pantas mendapat hukuman. Pengingkaran pada perasaan tidak pantas hidup lagi. Usaha memadamkan rasa bersalah. Mentolelir diri dari sekian tindakan subyektif yang jelas salah bila diketahui khalayak. Meski terasa layak dan sudah sepantasnya dilakukan sampai kapanpun bila didasarkan pada subyektifitas semata.
Pengingkaran itu melahirkan ungkapan-ungkapan subyektif pula. “Orang tahunya apa?”. “Biarkan saja orang bicara.” Dan lain sebagainya. Menjadi apatis. Anti sosial. Hidup sekedar hidup. Bagai mayat hidup. Tubuh ada pada satu lokasi dan situasi tertentu, sedangkan jiwa entah berkelana ke mana. Sebenarnya jiwa itu sibuk mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan subyek yang menghasilkan tindakan subyektif yang telah dilakukan.
Seringkali pembenaran atas tindakan subyektif atau tindakan diluar kelaziman memunculkan dramatisasi sebagai kompensasi. Mengkondisikan alam pikiran untuk memaksakan diri berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan. Meskipun itu benar menurut tata norma. Tapi mengingkari hati. Sebuah tindakan karena dorongan keputusasaan. Hasilnya, bertahan hanya sebentar. Memang hebat pada awalnya. Seakan diri mampu konsisten melaksanakannya. Tapi, lama kelamaan memudar jua. Karena itu bukan dari hati. Namun hanya sebuah dramatisasi.
Dramatisasi disini dimaknai dengan mengkondisikan bahkan memaksakan jiwa untuk permisif, menerima keadaan, kemudian melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan. Seperti benar-benar diinginkan pada saat itu. Meskipun akibat dari “laku” atau “dharma” tersebut dianggap baik, sesuai tata norma, disepakati sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan antar manusia. Tapi yang namanya, dramatisasi, ya tetap saja dramatisasi. Pada awalnya memang seperti sempurna.
Keinginan sesaat. Itu juga kompensasi. Tidak bertahan lama. Tidak konsisten. Tetap berakhir dengan ungkapan “mengapa!”, tertunduk dalam diam, meratapi tindakan bodoh, dan menyesali waktu terbuang. Maka, kehati-hatian sebelum mengambil keputusan sangat diperlukan. Apalagi bila itu sudah dinilai tidak lazim oleh khalayak. Karena bisa merugikan banyak pihak. Bagi pihak yang sebelumnya pernah melakukan hal serupa, akan mudah memaafkan. Tapi bagi pihak yang belum pernah melakukan sebelumnya. Itu sangat sulit untuk dimaafkan, meski hanya bisa diam, untuk sementara. [Heri Ireng | Cepu Blora]
 
© 2012. DM-B- BT BS